Revolusi Industri membawa serangkaian asosiasi tertentu, sebut saja di antaranya bangunan pabrik, bisingnya suara mesin, dan asap yang membumbung tinggi. Apapun asosiasinya, Revolusi Industri yang berkembang pesat identik dengan momentum ke depan, sebuah kemajuan.
“Ketika Eropa melahirkan Revolusi Industri, saat itu berbagai kota di dunia untuk pertama kalinya mengakomodasi infrastruktur untuk memproduksi apa yang mereka butuhkan. Mereka menyediakan warganya segala hal yang mereka butuhkan dan sangat mudah dijangkau,” kata pendiri dan direktur Fab Lab Barcelona Tomas Diez, dalam sebuah webinar Fab City Hub Voices bersama Centrinno Eropa.
Selama abad ke-20 dan 21, ujar Tomas, Revolusi Industri memasuki tahap baru berskala global. Tujuannya, untuk terus mengoptimalkan metode produksi melahirkan berbagai inovasi seperti proses otomatis, robot, dan lain-lain.
Eropa kemudian menjadi hebat dalam membuat berbagai hal dalam skala besar. Namun kemudian, kota-kota di Eropa bertransisi ke era baru, di mana sebagian besar produk dibuat ribuan kilometer jauhnya dari tempat mereka dibeli dan digunakan.
Akibatnya, manufaktur hanya mengambil sedikit peran dalam kehidupan perkotaan di kota-kota Eropa saat ini, dan mengalihkan fokus pada layanan ketimbang produksi.
“Benda yang Anda miliki, dan apa yang telah kita lihat dalam 20-30 tahun terakhir adalah berkat globalisasi dan digitalisasi perdagangan serta peningkatan logistik secara global,” sebut Tomas.
“Semua industri yang memproduksi secara lokal mulai bergerak menjauh hingga ribuan kilometer jauhnya di tempat tenaga kerja lebih murah, di mana segala sesuatunya lebih cepat untuk dibuat, mencari efisiensi. Itulah mengapa kita sekarang memiliki kota-kota yang mengimpor sebagian besar barang yang mereka konsumsi, mereka tidak memproduksinya secara lokal,” sambungnya.
Ditambahkan Tomas, negara-negara di Eropa mendapat konsekuensi dari situasi ini. Situs-situs industri yang dulunya menjadi pusat produksi telah ditinggalkan sehingga mereka kehilangan identitas dan mencoba mencari model kelayakan baru.
Kelemahan dari transisi ini makin mencolok di masa pandemi COVID-19, ketika transportasi barang terbatas sehingga stok di toko-toko lokal kosong. Isu kekurangan pasokan dan bahan, saat ini memiliki pengaruh besar pada proses fabrikasi di semua skala produksi di seluruh dunia.
Tak sampai di situ, masalah ini makin menjadi ketika terjadi insiden seperti Ever Given yang terjebak di Terusan Suez. Pada Maret 2021, kapal raksasa bermuatan kontainer ini menyumbat jalur transportasi yang menjadi perlintasan vital laut internasional sehingga mengganggu pasokan logistik.
Inovasi yang pesat pada abad-21 telah mencapai titik di mana masyarakat global berhasil menemukan metode “penerjemahan” data ke dalam wujud fisik, yakni dinamakan fabrikasi digital. Pada dasarnya, fabrikasi digital adalah proses manufaktur menggunakan mesin yang dikendalikan oleh komputer.
Tomas menyampaikan bahwa kehadiran fabrikasi digital berpotensi dalam mendorong perubahan pada pola produk maupun konsumsi dalam keseharian masyarakat global.
Meskipun teknologi memiliki peranan penting dalam proses ini, hal yang justru perlu menjadi perhatian utama dalam perkembangan fabrikasi digital adalah kolaborasi masyarakat.
Karena bagi Tomas, fabrikasi digital sendiri bukan sekadar “hasil” dari inovasi peradaban, tapi juga sebagai sebuah “sistem” yang dapat berkontribusi besar dalam pembentukan ekosistem yang lebih baik untuk Bumi dan seisinya.
Proyek Centrinno dan apa yang dilakukan Tomas di Fab Lab Barcelona, dialamatkan untuk merespons masalah ini. Inti dari proyek ini adalah penekanan pada sirkularitas, di mana aliran material dan ekonomi dalam suatu area dipantau untuk memastikan bahwa apa yang dibeli dan digunakan secara lokal, juga dibuat secara lokal, sehingga mengurangi biaya impor material atau produk, dan menjaga keuangan tetap berputar di lokal.
Melalui proyek Centrinno, kota-kota produktif didorong untuk menempatkan warga sebagai inti dari transformasi berkelanjutan yang berfokus pada sembilan lokasi industri dan produksi kreatif Eropa yang unik.
Proyek ini melibatkan 9 kota percontohan Eropa yang berbeda sifat dan skalanya. Sembilan kota tersebut adalah Amsterdam, Barcelona, Blönduó, Kopenhagen, Jenewa, Milan, Paris, Tallin, dan Zagreb.
Area fokus yang dikerjakan beberapa kota ini, ada yang berkaitan dengan masalah lingkungan, ada juga yang mengurusi wilayah bekas situs industri. Beberapa kota berfokus pada satu jenis produksi bahan baku, dan kota lainnya melukan beberapa pekerjaan sekaligus yang berkaitan dengan fesyen, perkebunan, produksi kayu, wol, makanan, dan banyak lagi.
“Fabrikasi digital mengakselerasi terwujudnya sebuah kota pintar yang benar-benar mandiri, yang dapat memberi warganya teknologi untuk menanam makanan mereka sendiri, mencetak produk baru sendiri kapan pun mereka membutuhkannya, dan menawarkan berbagai perangkat yang mereka butuhkan untuk melawan masalah urbanisme yang berkembang,” sebut Tomas. (E03)