Sejumlah perusahaan teknologi besar, seperti Google, Meta, Apple, termasuk Amazon diketahui sudah mulai menggunakan energi hijau untuk menjalankan operasionalnya. Sebagai contoh, Google telah menjalankan proyek angin lepas pantai pertama di Laut Utara, lokas berangin kencang, untuk menyumbangkan listrik ke data center mereka yang beroperasi di Belgia.
Selain itu, raksasa internet itu pun mendistribusikan panel surya pada atap ratusan perumahan umum di Singapura untuk mendapatkan energi bersih terbarukan dengan lahan terbatas.
Sementara Meta, kini merupakan salah satu perusahaan pembeli energi terbarukan terbesar, dengan kontrak untuk lebih dari 6,1 gigawatt energi angin dan surya di 18 negara bagian dan lima negara.
Meski mulai banyak dikembangkan, tapi pemanfaatan energi terbarukan juga masih menghadapi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah masalah intermiten atau jeda kehadiran sumber daya–misalnya, ketika tak ada sinar Matahari di malam hari, atau ketika tidak ada angin yang berhembus.
Masalah lain yang juga menjadi perhatian adalah peran penyedia jaringan listrik untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan, terutama di kala ada risiko lonjakan dan pemadaman listrik. Selain ittu, keterbatasan sarana penyimpanan energi terbarukan juga menjadi tantangan.
Karena itu, muncullah ide untuk mengembangkan baterai yang bisa menjadi media penyimpan kelebihan energi. Baterai ini, menurut para peneliti, berpotensi untuk memecahkan masalah intermiten dengan menyimpan energi yang dihasilkan ketika angin dan Matahari sedang kuat-kuatnya.
Namun, solusi ini pun masih terkendala dengan media penyimpanan. Baterai lithium-ion dan pompa air yang ada saat ini masih terbilang mahal, serta sulit diukur volume energinya.
Melihat tantangan tersebut, dua peneliti yang juga mahasiwa PhD dari UC San Diego, yakni Barath Raghavan dan Jennifer Switzer, memperkenalkan sebuah konsep pengoptimalan daya tanpa baterai. Keduanya memperkenalkan sebuah sistem komputasi untuk memprediksi kebutuhan energi berlebih dari data center perusahaan teknologi. Konsep ini diberi nama baterai informasi (information battery).
Meski disebut “baterai informasi”, konsep ini tidak benar-benar menggunakan baterai fisik. Menurut kedua peneliti, baterai informasi lebih merupakan strategi pengaturan waktu dengan konsep seperti baterai sungguhan, yang ditujukan bagi perusahaan haus data, terutama perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, agar mereka tidak membutuhkan pembakaran bahan bakar fosil terlalu besar ketika ada lonjakan permintaan data, di mana lonjakan kebutuhan data tersebut sulit diantisipasi dengan energi terbarukan.
Berbekal sistem komputasi yang diterapkan, perusahaan dapat memprediksi data yang diperlukan di masa depan dan melakukan penghitungan, sebelum benar-benar membutuhkan data tersebut. Jadi, alih-alih menyimpan energi untuk digunakan nanti, perusahaan dapat menyimpan data yang dibutuhkan.
Secara garis besar, konsep baterai informasi membantu perusahaan melakukan perhitungan komputasi untuk mengetahui permintaan data di masa depan, sehingga mereka bisa menyimpan daya yang dibutuhkan di masa depan. Sebagai contoh, perusahaan seperti Netflix dapat mempersiapkan diri dengan prediksi kapan ada lalu lintas yang tinggi di waktu tertentu, termasuk akses ke beberapa serial TV dan film populer.
Dengan demikian, perusahaan dapat mengoptimalkan akses data yang diperlukan dari data center saat terjadi lonjakan permintaan. Sebagai gambaran, konsumsi streaming video dengan permintaan data yang besar berbanding lurus dengan konsumsi daya di data center, sehingga menyimpan data yang dibutuhkan untuk lebih mudah diakses membuat daya yang diperlukan saat ada lonjakan lalu lintas dapat lebih sedikit.
Meski tidak benar-benar menggunakan baterai fisik, istilah “baterai” masih dipakai karena menurut Raghavan, konsep yang ditawarkan tidak berbeda. Baterai merupakan tempat penyimpanan energi potensial yang dapat berguna untuk menghasilkan energi lain, seperti energi listrik. Dalam hal ini, energi potensial adalah informasi atau data.
Meski sederhana, konsep yang ditawarkan dua peneliti ini disebut cukup menjanjikan. Sebab, menyimpan data agar lebih mudah diakses pada saat terjadi lonjakan permintaan disebut lebih efektif secara biaya, jika dibandingkan dengan menyimpan daya pada baterai lithium-ion.
Selain itu, dalam riset ini, kedua peneliti turut menyertakan desain dan konsep implementasi sistem nol-karbon yang mencakup jaringan neural untuk memprediksi ketersediaan energi terbarukan di masa depan dan tugas-tugas yang akan dilakukan di data center.
Meski begitu, sistem ini masih memiliki tantangan, terutama untuk menentukan waktu dan lokasi yang tepat kapan penghitungan perlu dilakukan, termasuk cara melakukan komputasi untuk mendapatkan hasil yang efisien.
Selain itu, penghitungan komputasi ini baru optimal untuk perusahaan dengan kebutuhan data yang besar, karena mereka memang menjalankan data center dengan kebutuhan komputasi dan daya yang luar biasa. (E04)