Titik Temu
Aksi Startup Lokal Kelola Limbah Plastik dan Mensejahterakan Pemulung
Editorial Cast | 03.24.2022

Sampah merupakan persoalan yang masih terus menghantui Indonesia. Sebab hingga saat ini, pengelolaan sampah, utamanya sampah plastik masih belum optimal. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara dengan penghasil sampah plastik terbesar di dunia. 

Data BPS (Badan Pusat Statistik) 2021 menyebutkan limbah plastik di Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Sementara studi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2018 memperkirakan sekitar 0,26 juta hingga 0,59 juta ton plastik ini mengalir ke laut. 

Dengan data tersebut, Indonesia pun mendapat predikat sebagai negara penghasil sampah plastik laut terbesar ke dunia. Data tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan Jambeck pada 2018. Selain jumlah, pengelolaan sampah plastik di Indonesia juga belum optimal. 

The National Plastic Action Partnership (NPAP) mencatatkan ada sekitar 4,8 juta ton sampah plastik tidak dikelola dengan baik. Kebanyakan dari mereka dibakar di ruang terbuka, sedangkan sisanya tidak dikelola dengan layak di tempat pembuangan sampah resmi atau mencemari air dan laut. 

Menurut Project Manager Ocean Plastic Prevention Accelerator, Duala Oktorini, jumlah ini pun diprediksi akan terus meningkat, karena jumlah produksi sampah plastik di Indonesia menunjukkan tren kenaikan sekitar 5% setiap tahun. 

Sebagai gambaran mengenai kondisi sampah di Indonesia, kita bisa menilik data mengenai keadaan sampah di Ibu Kota Jakarta. Beberapa bulan lalu, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria sempat mengungkap informasi mengenai volume sampah yang diangkut dari sungai di Jakarta pada Oktober hingga Desember 2021. 

Dari catatan, volume sampah yang diangkut dari sungai Jakarta saat itu mencapai 121.433,53 meter kubik. Jumlah itu bahkan melebihi luas kawasan Monas yang mencapai 80,3 hektar dan tinggi 132 meter. 

Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta selama periode Oktober hingga Desember 2021, volume sampah tersebut setara dengan 2,5 kali bangunan Monas. Menurut Reza, tumpukan sampah di Jakarta tersebut menjadi salah satu alasan utama penyebab banjir dan sebagian besar merupakan sampah plastik. 

Aksi startup lokal jawab persoalan sampah

Sejumlah startup Tanah Air mencoba mengatasi masalah sampah di Indonesia. Beberapa dari startup tersebut memang tidak langsung melakukan pengolahan sampah, melainkan mereka membantu pemulung yang terbiasa mengumpulkan sampah untuk memudahkan pekerjaan sekaligus membantu mereka mendapatkan pendapatan yang lebih layak. 

Meski terlihat sepele, peran pemulung di Indonesia ternyata besar dalam mengumpulkan sampah. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sektor informal seperti pemulung ternyata lebih banyak mengumpulkan sampah plastik dibandingkan fasilitas pemerintah. 

Data menunjukkan, fasilitas yang dimiliki pemerintah dan bank limbah biasanya hanya bisa mengumpulkan sekitar 69.900 ton sampah plastik per tahun, sedangkan para pemulung diperkirakan bisa mengumpulkan hingga 354.900 ton sampah plastik tiap tahun. 

Dengan data tersebut, peran pemulung sebenarnya dapat ditingkatkan untuk membantu pengelolaan sampah di Indonesia. Salah satunya dilakukan oleh startup bernama Octopus yang melakukan rebranding istilah pemulung menjadi pelestari. 

Melalui cara ini, mereka ingin mengubah pandangan negatif mengenai pemulung.  Peran pelestari pun tidak terbatas bagi mereka yang memang sehari-hari memperoleh rejeki dari mengais sampah, tapi juga mahasiswa, sopir, atau orang yang kehilangan pekerjaannya karena COVID-19. 

Para pelestari ini bertugas unuk mengumpulkan sampah dari pengguna aplikasi Octopus yang ingin melakukan daur ulang sampah mereka. Nantinya, sampah yang dikumpulkan tersebut bisa ditukar menjadi uang tunai atau poin yang dapat ditukar menjadi voucher, termasuk dalam bentuk uang digital. 

Tingkatkan kehidupan pemulung

Kehadiran aplikasi semacam ini juga secara tidak langsung meningkatkan efisiensi dan pendapatan para pemulung. Selain Octopus, aplikasi serupa bernama Rapel juga hadir di Yogyakarta. Kehadiran Rapel diakui ikut meningkatkan kesejahteraan para pemulung yang bergabung di dalamnya. 

Menurut Joko Sulistiyono, salah satu pemulung yang bergabung dengan Rapel, dikutip dari chinadialogue.net, dirinya kini tidak perlu lagi berburu sampah dengan waktu tidak menentu. Kini, ia tinggal mengambil sampah di lokasi yang ditentukan dan bisa mendapatkan sekitar Rp2,9 juta per bulan–berbeda dari aktivitas sebelumnya yang tidak memiliki pemasukan pasti. 

Meski menawarkan layanan serupa, Octopus dan Rapel memiliki sistem dan tipe sampah yang berbeda. Octopus hanya mengumpulkan sampah plastik botol yang dibuat dari PET, sedangkan Rapel menerima sampah plastik, kertas, besi, elektronik, hingga minyak sisa masak. 

Selain kedua startup tersebut, ada pula startup PlasticPay yang berbasis di Jakarta. Namun, berbeda dari dua layanan sebelumnya, PlasticPay tidak merekrut pemulung melainkan menyediakan boks pengumpulan di pusat perbelanjaan dan sekolah di Jakarta dan Tangerang. 

Mereka yang menyerahkan botol plastik akan mendapatkan imbalan berupa poin dan nantinya dapat ditukar menjadi uang. Kehadiran aplikasi pengumpulan sampah ini pun terbukti efektif. Sebagai contoh, aplikasi Octopus kini sudah diunduh lebih dari 14.000 kali dan selama enam bulan berhasil mengumpulkan 300 ton limbah plastik di tiga wilayah. 

Dukungan Pemerintah

Kehadiran startup yang peduli dengan lingkungan juga disambut baik oleh Pemerintah Indonesia. Untuk itu, pemerintah melalui KLHK berencana untuk bekerja sama dengan startup pengolahan sampah dan pemberdayaan pemulung meningkatkan kapasitas pengumpulan sampah nasional mencapai 4,29 juta ton di 2030. 

Selain itu, KLHK juga mendorong pemerintah daerah mendaftarkan para pemulung dan mengakui mereka sebagai bagian dari perencanan pengelolaan sampah di wilayah masing-masing. Sebagai bagian dari upaya mendorong ekosistem ekonomi sirkular, KLHK juga mendorong Kementerian Keuangan untuk menurunkan pajak produk daur ulang plastik menjadi 2% dari sebelumnya 10%. (E04)