Kamu penggemar fesyen? Ada baiknya tak hanya memperhatikan model dan tren kekinian saja ya, tapi perhatikan juga dampaknya buat keselamatan lingkungan sekitar. Apalagi sekarang memang sedang tren aksesoris dan fesyen daur ulang.
Industri fesyen terus bergerak dari tahun ke tahun. Di balik sisi positifnya, ada sisi negatif dari industri fesyen yang meninggalkan jejak karbon besar bagi lingkungan. Hal ini bisa ditelusuri dari penggunaan pestisida untuk pemeliharaan bunga kapas yang kerap dijadikan material produk, hingga limbah kimia dari pewarna pakaian.
Nah, dengan konsep sustainable fashion, industri fesyen menggunakan bahan yang aman untuk lingkungan, hingga terpikir untuk mendaur ulang dari benda lama bahkan sampah. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi jejak karbon dan penggunaan bahan kimia.
Sepatu yang diproduksi startup asal India bernama Thaely ini bakal cocok untuk orang-orang yang khawatir tentang jejak karbon mereka. Konsumen bisa membeli sepasang sepatu kets, yang menurut si produsen, seluruhnya terbuat dari sampah daur ulang. Sepatu ini dibanderol 9.757 Rupee atau sekitar Rp1,8 jutaan.
Menurut sebuah artikel yang diterbitkan pada tahun 2014, rata-rata sepasang sepatu membutuhkan waktu sekitar 50 tahun untuk terurai sepenuhnya. Sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2020 memperkirakan bahwa secara global, sekitar 21 juta sepatu diproduksi setiap tahun.
“Ini menciptakan jumlah limbah yang sangat besar dari sektor alas kaki dan kulit. Persentase maksimum limbah alas kaki dihasilkan dari limbah alas kaki pascakonsumsi, yaitu akhir masa pakai alas kaki yang sebagian besar masuk ke tempat pembuangan akhir,” tulis laporan tersebut.
Thaely menggunakan teknik manufaktur baru yang hanya menggunakan bahan vegan dan daur ulang seperti kantong plastik dan botol, untuk membuat sepatu.
“Saya selalu tertarik pada alas kaki dan hal-hal terkait keberlanjutan. Sepatu kami adalah satu-satunya yang mengunakan botol plastik, bahan kain alami, dan karet daur ulang sebagai bahan produknya,” kata Ashay Bhave, pengusaha berusia 23 tahun di belakang startup tersebut.
Merek terkenal seperti Nike, Converse, dan Reebok juga memiliki model sepatu yang diklaim berkelanjutan. Namun, Thaely tak kalah mentereng. Startup yang memulai penjualan produk pada Juni 2021 ini sukses menarik perhatian kalangan investor di tahun yang sama.
“Kami memiliki banyak pemodal ventura yang terlibat dan kami sudah menghasilkan keuntungan. Setiap bulan, kami menghasilkan penjualan senilai USD25 ribu (sekitar Rp360 juta),” katanya.
Semangat yang sama, tapi lewat produk berbeda diperlihatkan Veganologie. Merek aksesoris asal Dubai ini meluncurkan lini produk tas kulit vegan dan tas suede imitasi yang sepenuhnya terbuat dari bahan daur ulang.
Setiap bagian dari tas, dompet, dan tempat kartu seluruhnya terbuat dari bahan daur ulang yang bersertifikat GRS (Global Recycled Standard), termasuk kulit PU dan lapisan suede imitasi yang keduanya terbuat dari botol plastik daur ulang.
Ini berawal dari keresahan CEO Veganologie, Angana Maheshwari, 27 tahun, yang merasa tidak nyaman dengan produk pakaian sekali pakai yang berakhir di tempat pembuangan sampah. Sangat memperhatikan masalah lingkungan dan praktik kejam di industri kulit, akhirnya ia memutuskan untuk membuat produk sendiri.
“Veganologie lahir selama masa lockdown saat pandemi. Seperti semua orang, saya jadi punya banyak waktu berpikir dan mulai meneliti fesyen berkelanjutan, khususnya tas tangan. Setelah penelitian berbulan-bulan dan menyusun model bisnis, saya bertemu Sara Basar, yang kemudian bergabung dengan saya sebagai Direktur Eksekutif dan Desainer Veganologie. Kami pun menciptakan produk ini,” kata Maheshwari.
Bagi Maheshwari, sangat penting untuk memastikan bahwa tas tangan yang dibuat dari bahan-bahan vegan dan daur ulang itu dibuat dengan baik, praktis, dan harganya terjangkau. Semua produknya seharga di bawah USD175 atau sekitar Rp2,5 juta.
Konsep ramah lingkungan tak hanya diadopsi pada bahan pembuatnya, tetapi juga proses produksi barang-barang ini. Perusahaan pengelola sampah Triotap Technologies yang terlibat dalam produksi sepatu Thaely, mengumpulkan sampah kering dan memisahkannya di fasilitas khusus.
Selain bekerja dengan Thaely, pendiri Triotap Technologies Ravi Trivedi mengatakan mereka juga mengumpulkan sampah kering untuk tujuan lain. Misalnya memisahkan plastik berlapis-lapis untuk dijadikan bahan untuk membuat ubin.
Untuk sepatu Thaely, pekerja merendam kantong plastik dalam larutan Surf Excel dan air, sebelum dipotong dan dilebur untuk digunakan. Triotap Technologies membuat sekitar 100 kotak ThaelyTex sehari, yang kemudian dikirim ke Nitush Footwear di Jalandhar, sebuah pabrik pembuatan sepatu.
Nitish Chaddha, pemilik pabrik yang telah memproduksi sepatu selama lebih dari delapan bulan, mengatakan prosesnya tidak selalu mudah.
“Sepatu ini lebih rumit untuk dibuat. Sepatu umumnya memiliki lima hingga enam komponen seperti bagian atas, alas, bagian tali yang dijahit. Sedangkan sepatu ini memiliki sekitar 13. Dibutuhkan waktu dua kali lipat untuk membuat sepatu Thaely dibandingkan dengan sepatu kets pada umumnya,” katanya.
Dia mengatakan awalnya tidak yakin apakah produk ini akan terwujud. Ketika Bhave meminta bantuan membuat sepatu itu, Chadda mengaku tidak tahu bagaimana melakukannya. Namun, dia menganggapnya sebagai tantangan.
“Membuat sepatu Thaely telah menjadi pengalaman belajar bagi kami. Pada awalnya kami bahkan mengalami kerugian selama produksi. Kami bahkan tidak bisa membuat 50 sepatu. Sekarang, kami menghasilkan hingga 300 pasang sepatu dalam seminggu,” sebutnya.
Sedangkan dalam proses produksi tas Veganologie, botol plastik bekas dikumpulkan dan dibersihkan, kemudian dipotong-potong dan dilelehkan, untuk membuat bahannya.
Pada bagian ini, mereka ditekan menjadi kulit PU atau dibuat menjadi benang poliester yang dirajut menjadi kain seperti suede. Menurut Veganologie, menggunakan suede daur ulang mengurangi konsumsi energi dan emisi CO2 hingga 80% dibandingkan dengan produksi suede tradisional yang berasal dari hewan.
Secara keseluruhan, tas selempang Veganologie terbuat dari 11 botol plastik daur ulang, dompetnya terbuat dari empat botol plastik, dan tempat kartunya terbuat dari dua botol plastik. Bahkan, perangkat kerasnya dibuat dari paduan seng yang sepenuhnya dapat didaur ulang.
Tak lupa, setiap kantongnya terbuat dari 10 botol plastik daur ulang. Seluruh kemasan produk tersebut 100% dari bahan daur ulang dan sepenuhnya dapat diolah untuk dimanfaatkan lagi.
Ke depannya, diperkirakan produk-produk semacam ini akan makin marak. Konsep ramah lingkungan menjadi alasan fesyen berkelanjutan menjadi lebih bernilai.
Namun, harga produk fesyen berkelanjutan dengan standar global mungkin tidak terjangkau bagi sebagian orang. Fesyen umum yang dijual dengan harga lebih murah bahkan terlalu rendah memperumit situasi ini.
Karenanya, menjadikan fesyen berkelanjutan tersedia untuk publik juga bukan tugas yang mudah. Semoga ke depannya, pakaian dan aksesori yang dibuat secara ramah lingkungan dan bertanggung jawab benar-benar dapat terjangkau. (E03)