Meski zaman sudah modern, masih ada anggapan bahwa bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah bentuk maskulinitas dan pengembangannya identik dengan kegiatan laki-laki. Padahal, perempuan juga punya peran tersendiri di bidang ini, dan kiprahnya tidak main-main.
Di Indonesia, hanya sekitar 30% perempuan yang belajar di bidang ilmu dan pengetahuan (iptek) di perguruan tinggi, Selebihnya didominasi laki-laki. Wati Hermawati, peneliti dari LIPI yang mendalami masalah kesetaraan gender dan IPTEK, menyebutkan bahwa di keluarga dan masyarakat masih ada norma yang menyatakan bahwa jurusan-jurusan seperti teknologi, engineering itu jurusan anak laki-laki. Sedangkan jurusan anak perempuan itu masih ilmu-ilmu sosial dan ekonomi.
“Memang di bidang iptek khususnya science, technology, engineering and mathematic (STEM), jumlah perempuan yang belajar di perguruan tinggi hanya 30% dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang mencapai 70%. Jadi otomatis ketika terjun ke masyarakat dalam bentuk profesionalisme apa pun, ya jumlahnya tidak lebih dari itu. Kalau social scientist kebalikannya, perempuan lebih banyak,” ujarnya seperti dikutip dari DW.
Ketimpangan semacam ini, menurutnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara di dunia. Di tengah ketimpangan itu, di Indonesia, ada tiga perempuan keren berkontribusi di bidang teknologi, khususnya dunia antariksa. Yuk, kenalan dengan mereka!
Sejarah mencatat, Pratiwi Sudarmono nyaris mencetak rekor dalam misinya bergabung dalam proyek NASA pada tahun 1986, sebagai astronaut perempuan pertama dari Indonesia. Namun sayang, peluncuran pesawat luar angkasa yang membawa Pratiwi terpaksa dibatalkan.
Pada tahun 1985 saat pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan antariksa Amerika Serikat NASA, Pratiwi menjadi ilmuwan wakil Indonesia yang terpilih oleh NASA melalui berbagai seleksi yang ketat.
Misi Wahana Antariksa atau Space Shuttle berencana menuju luar angkasa menggunakan pesawat ulang-alik Columbia pada 24 Juni 1986. Misi tersebut bertujuan untuk membawa tiga satelit komersial, yaitu Skynet 4A, Palapa B3, dan Westar 6S.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menjadi satu-satunya calon astronaut perempuan Indonesia dengan ditemani salah satu kandidat astronot Indonesia lain, yaitu Taufik Akbar, seorang insinyur telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sayang, misi tersebut terpaksa dibatalkan karena beberapa bulan sebelum keberangkatan, tepatnya pada tanggal 28 Januari 1986, pesawat ulang alik Challenger yang membawa misi lain, yaitu STS-51-L meledak di udara.
Peristiwa ini membuat misi penerbangan Columbia yang melibatkan Pratiwi Sudarmono yang seharusnya meluncur pada 24 Juni 1986, dibatalkan. Meski demikian, Pratiwi berkesempatan menjalani penelitian yang dijalankan di komplek NASA.
Ia juga menjalani pelatihan astronaut dan mempelajari struktur luar kendaraan luar angkasa. Melalui berbagai prestasinya, Pratiwi menerima berbagai penghargaan, salah satunya pada tahun 2019 yaitu penghargaan GE Indonesia Recognition for Inspiring in STEM Award. Kini Pratiwi mengabdikan diri menjadi guru besar/profesor kehormatan ilmu mikrobiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ars-Vita Alamsyah atau akrab disapa Vita, adalah insinyur teknik mesin dan manajemen rantai pasokan yang bekerja di SpaceX, perusahaan produsen kendaraan antariksa, jasa transportasi luar angkasa serta komunikasi, yang bermarkas di kota Hawthorne, California, Amerika Serikat.
Kariernya dalam industri aerospace dimulai selepas lulus sarjana dari University of Maryland jurusan Teknik Mesin tahun 2017 lalu. Ia bekerja di Northrop Grumman, perusahaan teknologi pertahanan dan kedirgantaraan Amerika. Di sana, ia bertanggung jawab mengatasi isu rantai pasokan global.
Tiga tahun berselang, Vita melanjutkan pendidikannya ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) dengan mengambil master ilmu terapan dalam bidang manajemen rantai pasokan, hingga akhirnya bergabung dengan SpaceX pada Agustus 2021 sebagai supply chain reliability engineer.
Kegigihan Vita sebagai seorang insinyur, sebagian besar terdorong oleh tantangan untuk meyakinkan dan membuktikan dirinya sebagai perempuan setara dengan laki-laki yang berprofesi sama.
Kegigihan itu harus diiringi dengan rasa percaya diri yang tinggi, tuturnya, meski kepercayaan diri itu tak selalu hadir sesuai ekspektasi.
“Kepercayaan diri tidak muncul seketika. Yang utama dan penting, Anda harus mengkalibrasi diri lagi dan lagi seiring waktu untuk memastikan Anda percaya diri dan paham betul akan cakupan (tanggung jawab Anda),” kata Vita seperti dikutip dari VOA Indonesia.
Terlepas dari tantangan itu, Vita menyadari bahwa kesetaraan gender semakin diperhatikan dalam lingkup pekerjaannya. Ia melihat kesempatan bagi insinyur perempuan makin terbuka lebar.
Anna Cammaro menginisiasi berdirinya Antarexxa. Lewat Antarexxa, dia mencoba membuka mata kita bahwa industri luar angkasa tak cuma soal satelit dan roket.
“Melalui edukasi, Antarexxa ingin memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa ke depannya akan bermunculan prospek pekerjaan baru yang berkaitan dengan luar angkasa dan juga potensi space economy,” kata Anna dalam wawancara dengan CAST beberapa waktu lalu.
Disebutkan Anna, kehadiran space economy juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bisa lebih inovatif dalam kegiatan produksi. Antarexxa pun ingin mengarahkan peluang pekerjaan yang sesuai dengan kondisi negara maupun ketersediaan yang ada di masyarakat.
Dengan berbagai dorongan dari masyarakat dunia terhadap isu keberlanjutan, industri pun bergerak ke arah ekonomi hijau, tak terkecuali industri luar angkasa. Anna menyebutkan, saat ini sudah ada sejumlah perusahaan yang berfokus dalam bidang tersebut. Karenanya, industri luar angkasa punya potensi mendorong ekonomi hijau dan secara umum memang memungkinkan dilakukan.
Dengan kehadiran Antarexxa, Anna berharap agar masyarakat bisa lebih terpapar oleh informasi-informasi tentang dunia antariksa, sehingga mereka bisa lebih banyak tahu tentang industri luar angkasa di seluruh tingkatan.
Lebih jauh lagi, Antarexxa diharapkan mampu membantu mengidentifikasi dan mengintegrasikan talenta di bidang antariksa di Indonesia untuk menginspirasi di skala global. (E03)
Anna Cammaro, Antarexxa, Ars-Vita Alamsyah, astronaut perempuan pertama dari Indonesia, Challenger, dunia antariksa, GE Indonesia Recognition for Inspiring in STEM Award, Institut Teknologi Bandung, Massachusetts Institute of Technology, NASA, Pratiwi Sudarmono, science technology engineering and mathematic, SpaceX, STEM, Taufik Akbar, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Wati Hermawati,