Articles
Connected Art Platform Media Art Globale With Mona Liem
cast | 06.15.2021

Connected Art Platform: Media Art Globale

Connected Art Platform (CAP) adalah wadah untuk seni rupa yang berfokus di Asia dan Eropa. CAP terdiri dari para ahli, kurator, desainer, peneliti, dan akademisi dengan misi untuk memberi kesempatan bagi seniman ternama maupun baru dan juga produser budaya untuk membangun jaringan, berbagi ilmu, dan berkolaborasi dalam proyek dan pameran.

Media Art Globale adalah festival bertema art, science and technology yang mengangkat karya new media dan diadakan setiap dua tahun.

Apa keunggulan dalam membangun Connected Art Platform sebagai ecosystem yang berfokus kepada Asia dan Eropa? 

Di sekolah, saya mengambil program Curatorial. Melalui praktek internship dan membuat pameran saya melihat banyaknya seniman, desainer, dan para kreatif yang saling membutuhkan. Dikarenakan saya orang Indonesia yang tinggal di Swiss, awalnya ada beberapa permintaan saat membuat pameran yang akhirnya berujung dengan membantu teman membuat pameran sehingga melihat potensi untuk dijadikan sebagai asosiasi dan yayasan. Dan ini juga salah satu cara untuk memperkenalkan karya Indonesia dan Asia Tenggara.

Apakah tantangannya dalam membangun ekosistem ini?

Menurut saya, sumber daya manusianya belum siap. Tahun lalu saat diundang untuk membuat proyek new media art di Indonesia, awalnya saya melihat bahwa ada kesulitan untuk mencari seniman yang mempunyai ilmu kontekstual yang kuat. Ada kecenderungan di bidang ini yang lebih menonjol adalah skill yang lebih komersil. Untuk new media art, proses pemikiran untuk proyek pribadi itu penting dan juga kemampuan untuk terus berkembang sesuai dengan perkembangan yang ada.

Ini menjadi salah satu alasan mengapa Media Art Globale (MAG) sebagai pameran fokus kepada art, science and technology, karena belum banyak yang konsisten di new media art, dan juga karena art, science and technology mengangkat sebuah peradaban sebuah bangsa dan menunjukkan kemajuan dari negara itu sendiri.

Tema Media Art Globale pada tahun 2020 adalah Quantum Land yang fokus kepada kota yang ideal. Apa alasan dari pemilihan sub-tema Quantum Land: Genesis, Enigma, Nexus, Magna, dan Master?

Quantum Land membayangkan kota yang ideal. Jika dirumuskan, mungkin tidak bisa, namun kita bisa melihat bahwa kota yang ideal adalah kota dengan pembangunan fisik yang memikirkan lingkungannya.

Untuk tema Quantum Land, Genesis artinya harmoni—harmoni antara manusia, alam, mesin, maupun analog. Enigma mendorong refleksi agar mawas diri untuk memperbaiki diri dulu..  Nexus adalah cara kita berkomunikasi dan berkomunitas antara generasi. Magna itu sebuah Open Call dengan memberikan harapan kepada siapapun, dan Master itu adalah workshop agar dapat membagi ilmu dan membangun pemberdayaan. Lewat sub-tema inilah kita coba menggambarkan sebuah ideal city.

Bagaimana kesiapan manusia dalam menyikapi dorongan digital di Asia maupun Eropa?

Pada umumnya, inovasi lebih cepat dibanding peraturan. Dan yang sering terlihat adalah secara moral dan etika di Indonesia seringnya tidak terlalu siap. Sosial media berkembang terlalu cepat dan tidak semua manusia mempunyai perilaku yang sama untuk merespon terhadap perubahan tersebut. Bedanya, di Eropa lebih menghargai kebebasan berekspresi. Maka moral dan etika mesti beriringan dengan kemajuan teknologi.

Kalau membahas virtual exhibition, kita semua tidak terlalu siap. Bahkan partner kerjasama kami, Ars Electronica, kolektif dari Austria yang telah membuat festival selama 40 tahun, merasa tidak sesiap itu. Rasa dan kehadiran tidak tergantikan, namun proses digital bisa mengelaborasikan kemungkinan dari pameran sehingga kita bisa berganti peran antara penonton dan seniman melalui interaksi baru.